Thursday, August 11, 2005

Teror itu Bernama Perempuan
Oleh Donny Gahral Adian*


Apa yang tak terjelaskan selalu menciptakan teror. Teror datang saat kita memandang ke sumur tanpa dasar. Atau ke sudut gelap sebuah rumah tua. Teror adalah anak kecil yang takut melongok ke kolong tempat tidurnya karena tak tahu apa yang mengeram di sana. Tuhan adalah teror. Alam adalah teror. Kejahatan adalah teror. Penderitaan adalah teror. Namun yang pasti, perempuan sendiri adalah yang tak terjelaskan hingga menebar magisme teror luar biasa. Sosoknya senantiasa berselimut tanda tanya. Siapakah dia yang konon membuat kita semua terdampar di jagad tak berbunyi ini?

Adalah Intan Paramaditha, a dark and solitary writer from UI, yang mencoba menangkap yang tak terjelaskan dari perempuan. Cerpen-cerpennya berbicara tentang perempuan, misteri dan ketakutan. Ditopang cara bertutur yang meremangkan bulu kuduk, Intan melesakkan pesan feminisme dengan cara tak biasa, a gothic kind of feminism. Isu perempuan tidak diangkat secara gegap gempita melainkan lewat kesunyian gelap yang mencemaskan.

Kecemasan dan kegelapan. Cerpen “Pemintal kegelapan” berkisah tentang cerita hantu perempuan penghuni loteng yang gelap. Gelap selalu mengundang rasa ingin tahu. Dari situlah narasi beranjak perlahan mengupas latar si hantu perempuan yang memilukan. Kisah kemudian bergeser pada sosok ibu yang mengisahkan si pemintal kegelapan. Ibu yang sendirian membesarkan anak setelah bercerai dari suaminya. Ya. Membesarkan anak di tengah gunjingan tetangga soal ia dan pacar-pacarnya. Itu yang mereka tahu. Namun di balik itu tersembunyi ruang gelap. Sesuatu yang maha pribadi yang diungkap di akhir kisah.

Si Ibu yang bertutur soal hantu perempuan sesungguhnya adalah sumber kegelapan itu sendiri. Ia adalah yang “rambutnya terurai, wajahnya penuh guratan pedih, matanya nyalang seperti bola api yang menari-nari melumatkan siapapun yang menatap. Hantu perempuan yang memendam cinta, rindu, sakit, nafsu, amarah—memintal gairah pekat tanpa henti, tanpa selesai” (hal. 18)

Cerpen “vampir” juga masih berkisah soal perempuan dan gelap. Sosok vampir dan aku silih berganti mengisi ruang narasi. Kadang malah sulit dipisahkan satu sama lain. Tidak heran. Vampir itu sesungguhnya adalah ruang gelap di sisi kesadaran si aku. Saat aku menimbang-nimbang untuk mengiyakan ajakan si bos minum kopi, si vampir menggeram, “Ah! Ah! Aku saudara yang berbagi hangat denganmu di tempat merah sempit itu. Aku tahu di sekolah menengah kau membaca buku porno murahan tentang sekretaris yang masuk ruangan bosnya tanpa celana dalam. Kau perempuan murah rekah merah. Ayo marah! Tidakkah kau impikan semua kebinatangan di balik rokmu yang beradab? (hal 23)
Ruang gelap kesadaran si aku mendesak segala keadaban untuk dibongkar. Perempuan yang menginginkan seks dengan bosnya bukan pelacur yang layak dilaknati. Itu wajar saja selaku manusia yang dikaruniai hasrat bercinta. Dosa spiritual atau sosial itu urusan lain. Tidak bisakah perempuan merayakan hasratnya tanpa perlu menengok segala rambu sosial buatan tangan laki-laki? Siapa yang sesungguhnya tertaklukkan pun masih bisa dipersoalkan. Si vampir dengan agresif kembali menggertak, “lihatlah leher laki-laki itu. Sukakah kau pada es krim vanilla? Kecap kebekuannya dengan lidahmu dan ia akan lumer dalam mulutmu” (hal. 25). Si aku sempat ragu. Namun, sebait narasi membuat orgasme yang tertunda itu tuntas sudah: “di pucuk es krim ada ceri buah mengilat. Buah menggoda, menantang bahaya. Akankah aku jatuh? Tapi aku begitu menginginkannya. Aku si penghisap penyedot kehidupan. Lehernya begitu indah. Dan aku begitu haus. Darah” (hal. 26)

Dua cerpen lain yang menarik perhatian saya adalah “mobil jenasah” dan “pintu merah” Cerpen “mobil jenasah” mengingatkan saya pada film The Other yang dibintangi Nicole Kidman. Sosok Karin yang menjadi sentral cerita dikisahkan sesungguhnya sudah mati. Kisah kematian itu ia dengar dari percakapan Tasha, anak perempuannya, dengan sang pacar. Apa yang selama ini dipandangnya sebagai nyata ternyata ilusi. Ia sudah tidak hidup bersama orang-orang bernyawa lagi. Seperti juga hidup fananya yang tak ubahnya seperti kematian. Bram, sang suami, menantu ideal di mata orang tuanya, ternyata mendua. Dan Karin pun siap memainkan peran apa pun di atas panggung hidupnya yang hambar.

Kematian eksistensi. Paling tidak itu yang dialami Karin sebelum kematian sesungguhnya. Seperti juga yang dialami jutaan perempuan lainnya. Mereka yang memaksakan kenyataan pada hidup yang sesungguhnya kolam ilusi. Itulah kutukan patriarki. Ia menyihir perempuan untuk bersikap layaknya istri, menantu, staf, ibu yang baik di saat segala kepura-puraan mengepung hidup dari tujuh penjuru mata angin. Kepungan yang membuat yang ilusi itupun dibatinkan dan menjadi jati diri. Karin pun berujar, “Aku perempuan berstrategi. Sebutkan saja tokoh apa yang harus kuperankan, dan aku akan membuat diriku percaya sepenuhnya bahwa aku memang dia. Acting is Believing, demikian tertera pada sampul depan sebuah buku.” (hal. 43)

Perempuan, kedalaman dan ketakutan. Tema itu kembali muncul dalam cerpen “Pintu Merah”. Adalah sosok hantu perempuan penghuni sumur pun yang mengentayangi narasi Intan di cerpen itu. Hantu itu menunggui sebuah sumur di dekat pintu merah, pintu yang membawa Dahlia, sang tokoh utama, ke dunia lain. Hantu itu adalah pantulan diri Dahlia sendiri. Imajinasi gelap yang membawanya keluar dari dunia keseharian yang disarati tuntutan.

Di sini Intan kembali memperlihatkan kebolehannya, Imajinasinya bergerak liar menyeberang dunia kerumunan. Imajinasi yang bertengger di balik pintu merah adalah hidup yang sarat dengan bahaya, keliaran dan keanehan. Ada serigala, laki-laki dan perempuan cantik berdansa, dunia peri, mimpi dan kematian. Dan sumur itu adalah akhir dari petualangan dunia lain Dahlia. Dunia anggur merah, lautan darah dan asal mula hidup mati (hal. 59). Kedalaman. Ya itulah perempuan. Intan mengingatkan kita akan perempuan dengan mata sedalam sumur. Tak ada yang bisa mengukur kedalamannya, tak ada yang memahami apa yang tengah beriak-riak di sana.

Di tengah segala horor, teror dan sihir, soal kelamin pun menyeruak ke tengah. Tak ada yang mengerti soal kelamin selain si empunya. Perempuan khususnya. Dalam cerpen “Darah” Intan ingin menggugat pemahaman masyarakat soal menstruasi. Menstruasi adalah darah, dan itu kotor. Kelamin perempuan adalah kotor baik biologis maupun sosial. Ia adalah si penggoda birahi laki-laki. Sekaligus membuat jijik saat menstruasi hingga perlu dibalut sedemikian rupa. Darah, kelamin perempuan dan hantu. Intan pun menyelipkan suaranya secara sangat halus namun menohok. “Darah adalah ketakutan. Kegilaan. Perempuan yang sedang menstruasi bisa menebar teror. Tapi tak ada yang bisa menjadi waras jika tergantung pada obat-obatan penahan rasa sakit. Dan sebagian dari kami adalah pecandu akut.” (hal. 121)

Cerpen-cerpen Intan bergandengan tangan menggugat kebudayaan yang selalu mendamba terang. Gelap harus enyah. Perempuan adalah gelap yang mesti diletakkan di bawah terang lampu kebudayaan. Persoalannya, budaya patriarki bermatakan laki-laki. Sisi gelap perempuan takkan pernah berpindah ke sisi terang. Dari jati diri sampai kelamin. Semuanya erat digenggam patriarki. Lewat sastra, Intan mencoba meneror pembaca perlahan-lahan hingga sadar akan sisi tak terjamah dari perempuan. Ia tidak menggurui. Ia hanya membuka tabir yang selama ini dipandang dari kejauhan. Ketakutan mesti disembuhkan oleh ketakutan. Itulah cara Intan meloloskan feminisme ke publik pembacanya

Singkat cerita, Intan pun berbisik dari kedalaman hatinya: “Hai laki-laki cobalah pandang kami perempuan dari sudut yang berbeda, sudut kami sendiri. Dari situ kau akan menemukan semesta yang selama ini tertutupi tabir keakuanmu. Semesta yang membuatmu senantiasa cemas sehingga kau coba tutup-tutupi. Tapi inilah kami, suka atau tidak. Mari sambut jemari kami. Akan kami ajak kau menelusuri setiap jengkal tubuh kami yang belum kau jamah”

***

*paper untuk diskusi buku Reader's Digest di Aksara Bookstore, 5 Agustus 2005.